ContohCerita Rakyat Singkat Sulawesi Selatan : Putri Tandampalik. 29 April 2017 dongeng cerita rakyat. Kisah Putri Tandampalik adalah contoh cerita rakyat singkat yang akan kami ceritakan malam hari ini. Kisah ini mengajarkan kita untuk.
KisahHoror Nenek Pakande | Cerita Rakyat Sulawesi Selatan. Ada lho cerita rakyat yang horor yaitu Kisah Nenek Pakande. Asli cerita rakyat dari Soppeng, Sulawesi Selatan. Semoga banyak pelajaran yang bisa kita petik dari episode ini. 8 min; 12 NOV 2021; Kisah Kancil dan Merak
AntaraAku dan Nenek Pakande. Nenek Pakande adalah salah satu urban legend yang sangat dikenal oleh masyarakkat yang ada di desa Pattongko, Kecamatan Sinjai Tengah, Kabupaten Sinjai, Provinsi Sulawesi Selatan. Sebenarnya Nenek Pakande mempunyai banyak versi cerita di Sulawesi Selatan. Tapi masih mempunyai ciri yang sama yaitu seorang nenek
Melaluiartikel The Jombang Taste kali ini kita akan mengambil hikmah cerita rakyat dari Sulawesi Utara. Di negeri antah berantah hidup seorang hakim yang sangat bijaksana dan amat dihormati orang karena kejujuran, Lanjutkan membaca Kisah Hakim yang Bijaksana, Sebuah Cerita Rakyat dari Sulawesi Selatan
NENEKPAKANDE Cerita Rakyat Sulawesi Selatan. Bugis Makassar. October 18, 2020 · NENEK PAKANDE Cerita Rakyat Sulawesi Selatan. Related Videos. 0:55. Lagu Menagih utang secara halus 🤣
Dịch Vụ Hỗ Trợ Vay Tiền Nhanh 1s. Berikut ini, tabbbayun akan menceritakan sebuat kisah yang berjudul yang cerita inspiratif tentang Nenek Pakande yang singkat. Dimana cerita ini cocok menemani anak-anak sebelum kala, di sebuah desa di Sulawesi Selatan, hiduplah seorang nenek tua yang dikenal sebagai Nenek Pakande. Nenek Pakande merupakan cerita rakyat yang terkenal di kalangan suku Bugis. Namun, dalam cerita rakyat Bugis ini, Nenek Pakande digambarkan sebagai sosok yang suka memakan atau memangsa Pakande, yang namanya berasal dari kata “manre'” yang berarti “makan”, digambarkan sebagai “si tukang makan”. Cerita rakyat Nenek Pakande memiliki berbagai versi, dan berikut ini adalah salah satu versi yang dilansir dari buku “Cerita Rakyat Daerah Wajo di Sulawesi Selatan”.Kisah Nenek Pakande dimulai dengan dua anak laki-laki bersaudara yang tinggal bersama ayah dan ibu tirinya. Anak sulung berusia 5 tahun dan adiknya berusia 2 tahun. Ayah mereka bekerja sebagai petani, sehingga ketika pergi ke kebun, kedua anak itu tinggal bersama ibu ibu tirinya memiliki sifat jahat dan tidak menyukai kedua anak tersebut. Mereka sering kali tidak diberi makan sepanjang hari. Ketika ayah mereka pulang, baru ibu tirinya membawa kedua anak itu ke dapur dan melumuri muka mereka dengan nasi. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan kepada ayah mereka bahwa kedua anak tersebut hanya bermain dan makan sepanjang hari, kedua anak ini mengalami hal yang sama. Suatu hari, saat mereka sedang bermain bola di depan rumah mereka, bola yang mereka mainkan tanpa sengaja masuk ke dalam rumah dan mengenai seorang tamu. Ibu tirinya menjadi sangat marah dan berniat untuk membunuh kedua anak tersebut dan memakan hati ayah pulang, ibu tirinya membujuk suaminya untuk turut membunuh anak-anak. Ia mengatakan bahwa kedua anak itu semakin nakal dan jahat. Ayah mereka terpengaruh dan menarik kedua anak itu untuk itu disaksikan oleh tetangga mereka. Salah satu tetangga kemudian mendekati mereka dan meminta agar mereka tidak membunuh anak-anak mereka sendiri di dalam rumah. Tetangga tersebut menawarkan diri untuk membawa anak-anak itu ke hutan dan membunuh mereka. Ia mengatakan bahwa nanti ia akan membawa pulang hati mereka untuk suami istri mereka melepaskan kedua anak itu agar dibawa ke hutan. Sesampainya di tengah hutan, tetangga tersebut merasa iba pada kedua anak tersebut. Ia meminta anak-anak itu untuk pergi dan tidak pernah kembali lagi ke rumah tersebut. Setelah itu, tetangga itu mengambil hati binatang sebagai anak laki-laki itu terus berjalan hingga melewati tujuh bukit dan tujuh gunung. Tak lama kemudian, mereka menemukan sebuah rumah tua di tengah hutan. Mereka memutuskan untuk singgah di sana dan meminta masuk ke dalam rumah yang ternyata tidak memiliki pintu. Di dalam rumah itu, mereka melihat tulang belulang yang berserakan di lantai dan di atas meja. Meskipun mereka merasa takut, rasa lapar yang begitu kuat membuat mereka mencari pemilik rumah. Namun, mereka tidak menemukan siapa pun di dalam rumah lalu pergi ke dapur dan menemukan berbagai makanan yang tersimpan di sana. Dalam keadaan lapar yang sangat, mereka memberanikan diri untuk mengambil makanan dan menyantapnya dengan malam menjelang, tiba-tiba terdengar suara menggelegar seperti guntur. Kedua anak itu kaget dan ketakutan.“Hmm… ada yang berbau manusia!” suara itu saat itu mereka menyadari bahwa rumah itu adalah rumah Nenek Pakande, sosok perempuan tua yang pemakan Pakande naik ke atas rumah dan bertanya kepada kedua anak tersebut, “Siapakah kalian, cucu-cucu?”Mereka menjawab, “Kami adalah anak yang tidak memiliki ibu. Ayah kami sudah menikah lagi, dan ibu tirinya tidak menyukai kami. Kami terpaksa membuang diri, dan kami sampai di rumah ini.”Nenek Pakande berkata, “Baiklah, tinggallah kalian di sini, cucu-cucu. Jaga rumah ini, karena aku sering bepergian.”Nenek Pakande kemudian bertanya, “Sudahkah kalian makan?”Anak-anak itu menjawab, “Sudah, nenek!”Nenek Pakande berkata lagi, “Makanlah banyak supaya cepat besar!”Kedua anak itu mulai merasa tenang dan mempercayai kata-kata Nenek Pakande. Nenek Pakande terus bertanya, “Bagaimana ukuran hatimu, cucu?”Mereka menjawab, “Masih sebesar biji beras, nenek.”Nenek Pakande berkata, “Makanlah, makanlah supaya cepat besar!”Dialog seperti itu terjadi setiap hari. Kedua anak itu tinggal di rumah tersebut bersama dengan Nenek demi hari berlalu, kedua anak tersebut tinggal di rumah Nenek Pakande. Mereka terus makan dan bertambah besar. Setiap kali Nenek Pakande pulang dari perjalanannya, dia senang melihat perkembangan kedua anak dalam hati kedua anak itu, mereka merasa ada yang tidak beres. Mereka masih ingat kejahatan ibu tirinya yang ingin membunuh mereka. Mereka merasa waspada terhadap Nenek Pakande, meskipun dia telah memberi mereka tempat tinggal dan hari, saat Nenek Pakande pergi berpergian lagi, kedua anak itu mengintip ke dalam kamar Nenek Pakande yang terkunci rapat. Mereka memutuskan untuk membuka pintunya dengan hati-hati. Saat pintu terbuka, mereka melihat sesuatu yang dalam kamar itu, terdapat sebuah ruangan bawah tanah yang gelap dan penuh dengan tulang-tulang manusia. Mereka kaget dan terkejut. Akhirnya, mereka menyadari kebenaran tentang Nenek Pakande. Dia benar-benar seorang pemangsa anak itu sangat takut dan merasa terancam. Mereka merencanakan pelarian dari rumah itu, karena mereka takut Nenek Pakande akan kembali dan melakukan kejahatannya pada malam hari, ketika Nenek Pakande masih belum pulang, mereka memutuskan untuk kabur. Mereka merangkak keluar dari rumah dan berlari secepat mungkin menjauh dari tempat itu. Hatinya penuh dengan ketakutan, namun juga dengan harapan anak itu terus berlari dan bersembunyi di hutan selama beberapa hari. Mereka bertahan dengan apa yang bisa mereka temukan di alam liar. Tapi mereka tidak kehilangan harapan untuk menemukan tempat yang hari, mereka bertemu dengan seorang kakek yang baik hati. Kakek itu mengasihani nasib kedua anak itu dan mengajak mereka pulang ke rumahnya. Kakek itu adalah seorang petani yang tinggal sendirian dan tidak memiliki cucu. Dia merawat kedua anak itu seperti cucunya anak itu akhirnya menemukan kehidupan baru yang penuh kasih sayang. Mereka diberi makanan yang cukup, tempat tidur yang nyaman, dan perhatian yang hangat. Mereka tumbuh menjadi anak-anak yang bahagia dan sehat di bawah perlindungan sang ingatan mereka, mereka selalu berterima kasih kepada tetangga yang telah menyelamatkan mereka dari takdir yang mengerikan. Mereka berjanji untuk hidup dengan penuh rasa syukur dan menciptakan dunia yang lebih baik di sekitar cerita singkat yang populer, cocok dibacakan untuk anak sebelum tidur berjudul cerita inspiratif tentang Nenek Pakande, lengkap dengan pesan moral dari cerita Nenek Pakande ini adalahKebaikan dan kejahatan dapat ditemukan dalam diri setiap individu. Terkadang, penampilan luar seseorang dapat menipu kita. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk melihat lebih dalam dan tidak mudah terpengaruh oleh penampilan ini mengajarkan kepada kita bahwa kebaikan sejati datang dari hati yang tulus dan perbuatan yang baik. Meskipun kedua anak itu menghadapi perlakuan buruk dari ibu tirinya, mereka tetap mempertahankan kebaikan dan mencari tempat yang itu, cerita ini mengingatkan kita untuk tetap berhati-hati dalam mempercayai orang lain. Kedua anak itu mengalami ketakutan dan bahaya ketika mereka tidak waspada terhadap Nenek Pakande. Ini mengajarkan kepada kita pentingnya waspada dan kritis terhadap lingkungan sekitar kita.
JURNAL PALOPO- Artikel ini mengulas kisah Nenek Pakande, cerita rakyat dari Sulawesi Selatan yang makan daging anak-anak. pada zaman dahulu kala di daerah Sulawesi Selatan tepatnya di daerah Soppeng terdapat sebuah perkampungan. Di perkampungan tersebut semua orang hidup berdampingan secara damai. Baca Juga Legenda Gunung Rinjani, Kisah Kesabaran Dewi Mas, Diusir dari Istana hingga Lahirkan 2 Anak Berbakti Namun kedamaian mulai terusik ketika seorang nenek tua datang ke kampung mereka. Nenek itu berbadan bungkuk dan berpakaian compang-camping dia dikenal sebagai Nenek Pakande. Hingga sebuah kabar mengejutkan ternyata dia adalah sosok siluman, yang memiliki kemampuan ilmu hitam yang cukup tinggi. Nenek Pakande tidak suka bertemu dengan orang kecuali anak kecil. Ia sangat suka anak kecil. Baca Juga Dongeng Si Kancil dan Burung Merak, Ajarkan Anak untuk Tidak Sombong, karena Lebih Cerdas dari Orang Lain
Banyak legenda dari berbagai daerah di Indonesia yang menarik untuk disimak. Salah satunya adalah cerita rakyat Nenek Pakande dari Sulawesi Selatan. Bila penasaran, langsung simak ulasannya dalam artikel ini, yuk!Cerita rakyat Nenek Pakande menjadi salah satu legenda yang populer di Provinsi Sulawesi Selatan. Kisah wanita tua ini sering diceritakan oleh para orangtua kepada anak-anaknya supaya jangan bermain di luar rumah pada malam kamu belum familier dengan ceritanya, maka ulasan tentang legenda Nenek Pakande bisa kamu jumpai di artikel ini. Ada juga pembahasan mengenai unsur intrinsik, pesan moral, beserta fakta menarik dari kisah nenek tua kira-kira seperti apa cerita rakyat Nenek Pakande dari Sulawesi Selatan beserta ulasan lengkapnya? Daripada semakin penasaran, lebih baik kamu langsung simak pembahasannya dalam uraian berikut, yuk!Cerita Rakyat Sulawesi Selatan Nenek Pakande Sumber YouTube – Dongeng Kita Konon pada zaman dahulu kala, terdapat suatu desa yang makmur dan damai di daerah Soppeng, Sulawesi Selatan. Penduduk desa ini sebagian besar berprofesi sebagai petani. Selain itu, ada juga yang bermata pencaharian sebagai pedagang dan pandai besi. Biasanya, suasana desa akan semakin ramai bila musim panen tiba karena banyaknya warga yang melakukan transaksi di pasar. Sayangnya, suasana desa yang aman dan sejahtera itu terusik dengan kedatangan seorang nenek tua bernama Nenek Pakande. Ia memiliki perawakan badan yang setengah membungkuk, rambut berwarna putih, dan wajah yang sudah berkeriput. Meskipun penampilannya seperti wanita-wanita tua kebanyakan, Nenek Pakande sebenarnya bukanlah manusia biasa. Wanita tua ini merupakan siluman pemakan manusia yang menjelma sebagai manusia untuk mencari mangsanya. Menurut legenda, Nenek Pakande adalah pemakan daging manusia. Wanita tua ini akan menculik bayi ataupun anak-anak kecil yang akan menjadi santapannya. Oleh sebab itu, beberapa kali terdengar kabar bahwa ada anak-anak kecil dan bayi di desa-desa lainnya. Nenek Pakande berkeliling ke desa di daerah Soppeng itu pada malam hari guna mencari mangsa baru. Ia diam-diam mengamati interaksi penduduk di desa di balik semak-semak yang mengelilingi desa tersebut. Pada suatu malam, ada dua anak kecil bersaudara yang tengah asyik bermain di halaman rumah. Ibu dari kedua bocah itu telah berkali-kali meminta anaknya untuk segera masuk ke dalam rumah dan mandi. “Ayolah anak-anak, turuti permintaan ibu. Ibu masih sibuk mempersiapkan makan malam untuk kalian dan ayah,” ujar ibu mereka. Karena anak-anak itu tetap mengabaikannya, sang ibu masuk ke dalam rumah dengan kesal karena harus cepat-cepat memasak. Melihat situasi yang sudah sepi, Nenek Pakande dengan cepat menculik kedua anak itu dan membawanya ke tempat persembunyiannya. Sang ibu yang keluar dari rumah untuk mengecek anak-anaknya, wajahnya berubah pucat pasi karena ia kedua anaknya sudah tak ada. Penculikan Anak dan Bayi yang Dilakukan oleh Nenek Pakande Sang ibu mencari anak-anaknya di sekitar rumah, bahkan hingga di pelosok-pelosok desa. Namun, usaha si ibu tidak membuahkan hasil. Ia lalu meminta pertolongan orang-orang kampung. Di bawah sinar bulan, warga desa berkumpul dan bertanya kepada ibu itu berteriak minta tolong. Sang ibu menjelaskan kalau kedua anaknya tiba-tiba menghilang padahal sebelumnya masih asyik bermain di pekarangan rumah. Salah satu warga lalu berinisiatif untuk menemui pemimpin kampung mereka. Rombongan warga ini kemudian mendatangi rumah sang kepala desa. Kedatangan para warga tentunya membuat sang kepala desa terkejut. “Ada apa kalian beramai-ramai ke sini di malam yang sudah larut ini?” tanya sang pemimpin desa. “Maafkan telah mengganggu waktu istirahat bapak. Tapi, ada warga kita yang kehilangan anak, pak” ujar salah satu warga. “Kehilangan anak? Kok bisa?” tanya sang kepala desa dengan penuh kebingungan dalam cerita rakyat Nenek Pakande dari Sulawesi Selatan. Sang ibu yang kehilangan kedua anaknya kemudian menjelaskan kejadian tragis yang menimpa dirinya. Kepala desa lalu meminta para warga untuk mencari lagi di seluruh pelosok desa dan sekitaran hutan yang mengelilingi kampung itu. Para warga melakukan pencarian dengan menggunakan obor-obor dari bambu sebagai sumber penerangan. Sayangnya, sampai tengah malam sekalipun, pencarian itu hasilnya nihil. Sang kepala desa kemudian menyuruh para warganya pulang ke rumah untuk tidur dan mengumpulkan tenaga untuk pencarian di esok hari. Keesokan harinya, para warga berkumpul di depan rumah sang kepala desa. Mereka berdiskusi tentang area mana saja yang perlu diperiksa kembali dalam pencarian. Tiba-tiba saja, datang seorang ibu-ibu yang melaporkan bahwa bayinya hilang. Sang ibu menjelaskan bahwa bayinya hilang saat ia tidur padahal mereka tidur di ruangan yang sama. Kepala desa menanyakan kemana suami sang ibu ini, tapi ia mengatakan kalau suaminya tengah pergi ke kampung sebelah untuk menjenguk saudaranya yang sakit. Diskusi Rencana untuk Mengalahkan Nenek Pakande Para warga yang memiliki anak-anak kecil pun merasa ketakutan. Mereka khawatir kalau anak-anak mereka akan menjadi korban selanjutnya. Para penduduk di desa itu tidak bisa tidur dengan nyenyak. Ketika warga tengah sibuk berdiskusi untuk mencari solusi masalah penculikan itu, tiba-tiba seorang pemuda bernama La Beddu angkat bicara. “Sepertinya anak-anak dan bayi yang hilang diambil oleh Nenek Pakande,” ujar laki-laki ini. “Minggu lalu tersiar juga kabar bahwa ada anak kecil dari kampung sebelah yang menghilang,” lanjut La Beddu. “Kita sepertinya perlu mengalahkan Nenek Pakande jika tidak ingin anak-anak kecil lainnya menjadi korban selanjutnya,” lanjut pemuda itu. “Tapi, bukankah Nenek Pakande adalah seorang yang sakti?” tanya salah satu warga. “Benar! Aku dengar tak seorang manusia pun yang bisa mengalahkan Nenek Pakande. Kabarnya sang nenek hanya takut kepada sosok raksasa yang bernama Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale,” timpal warga lainnya. “Keberadaan Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale sendiri juga tidak diketahui. Tidak ada seorang pun yang pernah berjumpa dengan raja raksasa ini,” ujar salah satu warga. Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale adalah raja raksasa yang sebenarnya juga pemakan manusia. Namun, berbeda dengan Nenek Pakande, raksasa ini hanya memangsa manusia-manusia jahat yang perilakunya merugikan orang lain. “Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang untuk bisa mengalahkan Nenek Pakande?” tanya seorang warga dengan nada cemas. Para penduduk lainnya juga diam memikirkan solusi. Baca juga Legenda Asal Mula Sungai Kawat dan Ulasannya, Akibat Sifat Keserakahan Manusia Rencana La Beddu untuk Melawan Nenek Pakande Sumber YouTube – Dongeng Kita Dalam keheningan itu, La Beddu mengangkat suaranya lagi. “Saya punya rencana untuk memusnahkan Nenek Pakande,” ucapnya dengan yakin. Sebagian penduduk menunggu penjelasannya, sementara sebagian yang lain hanya menatapnya dengan pandangan sebelah mata. “Hei, La Beddu. Kamu jangan main-main, ya. Memangnya kamu punya kesaktian apa sampai memiliki kepercayaan diri untuk bisa mengalahkan Nenek Pakande?” tanya salah satu penduduk dengan nada merendahkan. La Beddu tidak terpancing emosi dan hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu. “Kesaktian tidak selamanya harus dilawan dengan kesaktian juga. Manusia diberi akal untuk bisa berpikir,” jelasnya. “Lalu, kira-kira rencana apa yang kamu miliki untuk melawan Nenek Pakande?” tanya sang kepala desa. “Tuanku, saya butuh salaga garu, busa sabun satu ember, kulit rebung yang sudah kering, batu-batu besar, dan beberapa ekor belut,” jawab La Beddu. Para penduduk desa kemudian membubarkan diri dan segera mencari apa saja yang dipinta oleh La Beddu. Ada yang sibuk membuat salaga, mempersiapkan busa sabun satu ember, dan ada juga yang mencari belut di sawah serta kura-kura di pinggiran sungai. Setelah semua hal yang diminta oleh La Beddu terkumpul, dikisahkan dalam cerita Nenek Pakande dari Sulawesi Selatan bahwa para penduduk lalu kembali berkumpul di depan rumah sang kepala desa. La Beddu lalu mengecek kelengkapan benda-benda itu. “Bagaimana? Apa masih ada yang kurang?” tanya sang kepala desa kepada La Beddu. “Sudah Tuanku, tapi bolehkah saya meminta seorang bayi yang nantinya akan saya letakkan di Balla Raja?” pinta pemuda itu dalam cerita rakyat Nenek Pakande dari Sulawesi Selatan. “Boleh saja. Tapi, jelaskan dulu rencanamu kepadaku dan para penduduk desa,” ucap sang kepala desa. La Beddu lalu menjelaskan rencananya kepada para warga di situ. Ia berencana akan menyamar sebagai Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Perjumpaan La Beddu dengan Nenek Pakande La Beddu mengungkapkan bahwa ia akan menggunakan selaga sebagai sisir dan kura-kura sebagai kutu raksasa. Sementara itu, busa sabun akan digunakan seperti air liur dan kulit rebung akan dipakai sebagai terompet agar suaranya bisa menggelegar seperti seorang raksasa. Rencananya, mereka akan menarik perhatian Nenek Pakande dengan menaruh bayi salah satu warga di Balla Raja yang merupakan rumah panggung paling besar di desa itu. Ia meminta bantuan para penduduk untuk menaruh belut di tangga pintu masuk Balla Raja dan batu-batu besar di sekitarnya. Tibalah waktu pelaksanaan untuk mengalahkan Nenek Pakande. Di malam yang disinari cahaya bulan purnama, para warga bahu-membahu mempersiapkan jebakan mereka untuk sang nenek. Lalu, setelah semua persiapan selesai, mereka bersembunyi di sekitar Balla Raja. Sementara itu, bayi yang diminta La Beddu telah di taruh di tengah-tengah ruangan rumah panggung tersebut. La Beddu sendiri mempersiapkan dirinya sebagai raksasa. Tak lama kemudian, muncullah Nenek Pakande dari arah hutan. Wanita tua itu melihat kondisi setiap rumah desa yang gelap gulita kecuali rumah panggung yang paling besar. Sayup-sayup ia mendengar suara tangis seorang bayi dalam rumah itu. Nenek Pakande dengan hati gembira berjalan ke arah Balla Raja dan diam-diam masuk ke dalam rumah. Namun, ketika ia akan mendekati sang bayi, tiba-tiba terdengar suara yang menggelegar. “Jangan kamu dekati bayi itu. Aku sudah mengincar bayi itu sejak tadi. Pergi kamu!” ujar La Beddu yang sedang berpura-pura menjadi raksasa. “Siapa kamu?! Aku juga ingin mengambil bayi itu. Aku tidak takut denganmu!” ucap Nenek Pakande. “Aku adalah Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale, dan aku ingin kamu pergi sekarang juga dari rumah dan desa ini. Wilayah ini sudah menjadi area kekuasaanku!” ujar La Beddu dengan nada mengancam. “Ah, aku tidak percaya kalau kamu adalah Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale,” jawab Nenek Pakande. Dikisahkan dalam cerita rakyat Nenek Pakande dari Sulawesi Selatan, sang nenek tetap mengacuhkan ancaman si raksasa dan kembali mendekati bayi incarannya. Kesuksesan Rencana La Beddu dan Matinya Nenek Pakande La Beddu lalu menumpahkan seembur air busa yang telah ia siapkan. “Ah, lihatlah! Air liurku sudah mengalir kemana-mana! Kalau kamu tidak segera pergi dari sini, aku akan menjadikanmu sebagai mangsaku!” ucap La Beddu dengan lantang. Kura-kura kecil yang ada di ember dekat La Beddu lalu ditumpahkan ke lantai ruangan itu. “Ah, kutu-kutu ini sangat menggangguku dan membuat kepalaku jadi gatal saja!” keluh La Beddu sambil menjatuhkan selaganya. Melihat kejadian itu, nyali Nenek Pakande yang awalnya tak ingin kalah tiba-tiba menciut. Ia pun berlari ke arah pintu keluar dengan buru-buru untuk menyelamatkan diri. Sayangnya, ketika Nenek Pakanda menuruni anak tangga, kakinya menginjak belut yang licin. Ia pun terpeleset dan kepalanya membentur batu-batu besar yang telah ditaruh oleh para warga di luar pintu. Nyawa Nenek Pakande tak terselamatkan. Para warga yang berjaga-jaga di sekitar Balla Raja dengan rasa cemas bersorak penuh kebahagiaan karena rencana mereka berhasil. La Beddu yang berada di dalam ruangan ikut keluar bergabung dengan para penduduk yang menyelamati satu sama lain atas kesuksesan mereka. Keesokan harinya, mayat Nenek Pakande dibakar dengan menggunakan api yang besar. Abu mayatnya juga ditebar ke berbagai penjuru agar tidak bisa hidup kembali. Begitulah akhir dari cerita rakyat Nenek Pakande dari Sulawesi Selatan. Baca juga Legenda Pangeran Biawak Asal Kalimantan Selatan Beserta Ulasan Menariknya Unsur Intrinsik Kisah Nenek Pakande Sumber YouTube – Dongeng Kita Dalam uraian di atas, kamu telah mengetahui bagaimana dongeng Nenek Pakande. Selanjutnya, tak lengkap rasanya kalau kamu tidak sekalian menyimak tentang unsur-unsur intrinsik dalam ceritanya. Yuk, langsung cek saja! 1. Tema Gagasan utama atau tema dari cerita rakyat Nenek Pakande dari Sulawesi Selatan adalah melawan kesaktian dengan kecerdikan. Dalam kisahnya, La Beddu berhasil mengalahkan Nenek Pakande menggunakan kecerdikannya dengan mendapatkan bantuan dari penduduk desa. 2. Tokoh dan Perwatakan Ada beberapa tokoh yang memiliki peran penting dalam dongeng yang populer di masyarakat Bugis ini. Pertama, Nenek Pakande yang memiliki watak licik, serakah, serta suka menculik anak dan bayi. Selanjutnya, karakter kepala desa yang menjadi sosok pemimpin bijaksana, peduli dengan warganya, serta bisa diandalkan dalam berbagai situasi. Sementara itu, La Beddu adalah pemuda yang pandai, ramah, dan tidak mudah terpancing emosi. Ada juga karakter ibu dari kedua bocah yang diculik yang memiliki watak peduli dengan anak-anaknya dan bisa mengambil keputusan dalam suasana genting. Kedua bocah yang diculik Nenek Pakande dijelaskan sebagai anak yang sedikit bandel dan tidak langsung mematuhi perintah orangtua. Para warga digambarkan sebagai karakter-karakter yang mempunya beragam watak. Sebut saja peduli dengan kesusahan tetangganya, meremehkan anak-anak muda, serta suka memancing emosi. 3. Latar Latar atau tempat kejadian cerita rakyat Nenek Pakande dari Sulawesi Selatan mengambil lokasi di sebuah desa yang berada di daerah Soppeng. Sementara itu, kejadian-kejadian di dalam kisahnya berlangsung di depan rumah ibu dua anak, rumah sang kepala desa, dan Balla Raja. 4. Alur Dongeng dari masyarakat Bugis ini mempunyai alur maju atau progresif. Di awal kisah, terdapat perkenalan desa yang makmur yang kemudian kedamaiannya diusik oleh Nenek Pakande. Puncak konflik terjadi ketika Nenek Pakande berhadapan dengan La Beddu yang berpura-pura sebagai raksasa Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Meskipun mulanya tidak percaya, sang nenek memilih untuk kabur karena takut dengan raksasa itu. Sayangnya, Nenek Pakande justru menemui kematiannya setelah kepalanya terbentur batu besar yang disediakan oleh para penduduk desa. Dongeng ditutup dengan dibakarnya mayat sang nenek supaya tidak bisa bangkit lagi. 5. Pesan Moral Pesan moral dari cerita rakyat Nenek Pakande dari Sulawesi Selatan adalah untuk tidak takut melawan kejahatan jika kamu memang berada di jalan yang benar. Keberanian La Beddu bisa kamu terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, kamu juga belajar untuk tidak mudah putus asa. Permasalahan yang sedang kamu hadapi akan ada jalan keluarnya jika kamu berpikiran jernih dan bisa mengambil sikap bijak. Bukan hanya unsur-unsur intrinsik, ada juga unsur ekstrinsik yang bisa kamu simpulkan dari dongeng di atas. Sebut saja nilai-nilai yang berlaku di masyarakat setempat, seperti nilai budaya, sosial, dan moral. Baca juga Cerita Abu Nawas Mencari Cincin dan Ulasannya, Kisah Menggelikan yang Mengandung Pesan Bijak Fakta Menarik Sumber YouTube – Dongeng Kita Setelah menyimak cerita rakyat Nenek Pakande dari Sulawesi Selatan, saatnya kamu mengetahui informasi menarik yang bersangkutan tentang dongeng tersebut. Simak ulasannya dalam penjelasan berikut 1. Ada Versi Lain Karena dikisahkan secara turun-temurun, bukan sebuah kebetulan kalau ada versi lain dari cerita Nenek Pakande di Sulawesi Selatan. Meskipun awalnya memiliki plot yang sama, akhir cerita bisa saja memiliki penutup yang berbeda. Ada yang menceritakan kalau Nenek Pakande tidak benar-benar mati. Konon, dengan kesaktiannya, sang nenek terbang ke bulan sebelum sempat dibunuh oleh para penduduk desa. Maka dari itu, ada beberapa orangtua dari suku Bugis yang masih percaya bahwa arwah Nenek Pakande masih hidup abadi. Karena kepercayaan itulah, beberapa orangtua melarang anak-anak mereka yang masih kecil untuk bermain di luar rumah ketika malam telah tiba. Baca juga Kisah Pangeran Sarif dari Betawi yang Sakti dan Bijaksana Beserta Ulasan Lengkapnya Cerita Rakyat Sulawesi Selatan Nenek Pakande yang Legendaris Begitulah ringkasan kisah Nenek Pakande yang merupakan salah satu dongeng populer dari kumpulan cerita rakyat dari Sulawesi Selatan. Kamu bisa menceritakan kembali legenda tersebut kepada si kecil ataupun keponakan-keponakan kesayangan. Selain artikel ini, masih banyak dongeng keren lainnya yang bisa kamu temukan di PosKata. Beberapa di antaranya adalah kisah Abu Nawas Mencari Cincin, legenda Pulau Si Jangoi, dan cerita rakyat Telaga Alam Banyu Batuah. Selamat membaca! PenulisAulia DianPenulis yang suka membahas makeup dan entertainment. Lulusan Sastra Inggris dari Universitas Brawijaya ini sedang berusaha mewujudkan mimpi untuk bisa menguasai lebih dari tiga bahasa. EditorKhonita FitriSeorang penulis dan editor lulusan Universitas Diponegoro jurusan Bahasa Inggris. Passion terbesarnya adalah mempelajari berbagai bahasa asing. Selain bahasa, ambivert yang memiliki prinsip hidup "When there is a will, there's a way" untuk menikmati "hidangan" yang disuguhkan kehidupan ini juga menyukai musik instrumental, buku, genre thriller, dan misteri.
Ketika anak kecil bermain sendirian Nenek Pakande akan datang dan menculiknya. inilah mengapa ia sering disebut Pakande yang artinya makan. Cerita ini sudah terjadi lama sekali. Namun semua orang tua di Soppeng selalu menggunakan cerita ini untuk menakuti anak-anak mereka. Pada suatu waktu, dua orang anak bermain-main di halaman rumah mereka. Hingga waktu maghrib tiba, mereka masih bermain. Ibu mereka datang untuk menyuruh mereka masuk ke rumah, namun anak-anak itu menolak. Mereka lebih memilih bermain ketika mengikuti perintah ibunya. Baca Juga Dongeng Legenda Batu Menangis, Kisah Seorang Putri yang Durhaka pada Ibunya Hal yang ditakutkan pun terjadi, Nenek Pakande datang dan membawa mereka pergi ke tempat persembunyiannya di dalam hutan. Malam itu juga para warga berbondong-bondong masuk ke hutan tempat Nenek Pakande bersembunyi. Para warga mencari keseluruh pelosok hutan namun hingga pagi menjelang mereka tidak berhasil menemukan tanda-tanda Nenek Pakande. Paginya para warga berkumpul di alun-alun desa. Mereka mencari cara untuk menangkap nenek Pakande. Tiba-tiba datanglah Labeddu menawarkan ide untuk menangkap Nenek Pakande. Baca Juga Cerita Rakyat Legenda Joko Kendil, Pemuda Biasa yang Bermimpi Nikahi Putri Raja
Makassar - Nenek Pakande adalah salah satu cerita rakyat yang populer di masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya suku Bugis. Dalam cerita rakyat Bugis, Nenek Pakande digambarkan sebagai sosok nenek tua yang suka memakan atau memangsa Pakande berasal dari kata "manre' yang artinya makan. Jadi Pakande bisa diartikan sebagai "si tukang makan".Ada beragam cerita dan versi dari cerita rakyat Nenek Pakande ini. Berikut ini salah satu versi cerita Nenek Pakande dilansir dari buku yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1999 berjudul "Cerita Rakyat Daerah Wajo di Sulawesi Selatan". Dikisahkan, dua orang anak laki-laki bersaudara yang hidup bersama ayah dan ibu tirinya. Si sulung berusia 5 tahun dan si bungsu berusia 2 kedua anak ini bekerja sebagai petani. Ketika berangkat ke kebun, kedua anak ini tinggal bersama dengan ibu ibu tiri mereka memiliki perangai yang jahat dan tidak menyukai kedua anaknya. Kerap kali, mereka tidak diberi makan hingga sang Ayah pulang, barulah si ibu tiri ini menarik anaknya ke dapur dan dia melumuri muka kedua anak itu dengan nasi. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan kepada si Ayah, bahwa kedua anak tersebut kerjanya cuma makan sepanjang ayahnya hendak makan, kedua anak itu mendekat meminta makanan karena lapar. Hal ini membuat sang ayah bertanya kepada si ibu tiri apakah anak-anaknya sudah tiri pun berbohong bahwa anak-anak itu tidak berhenti makan."Tidak berhenti-hentinya makan. selalu di dapur saja tinggal, coba lihat, masih ada nasi berlumuran di pipinya," kata ibu setiap hari yang dialami oleh kakak-beradik hari, kedua anak ini sedang bermain bola di depan rumah mereka. Tiba-tiba tanpa sengaja bola yang dimainkan melayang masuk ke dalam rumah dan mengenai ibu tiri pun murka bukan kepalang. Ia berniat untuk membunuh kedua anak tersebut dan memakan si ayah pulang, dibujuknya suaminya untuk turut membunuh sang anak. Dikatakan kepadanya bahwa kedua anak tersebut menjadi semakin nakal dan jahat Ayah pun terpengaruh. Ditariknya kedua anaknya untuk itu disaksikan oleh tetangga mereka. Salah seorang tetangga kemudian menghampiri dan mengatakan kepada suami istri itu agar jangan membunuh anak mereka sendiri di dalam rumah."Biarkanlah saya yang membawanya ke hutan dan membunuhnya. Nanti kedua hatinya akan saya bawa pulang untuk kalian," bujuk tetangga mereka melepas kedua anak tersebut untuk dibawa ke hutan. Sesampainya di tengah hutan, si tetangga merasa iba kepada kedua anak tersebut. Ia meminta anak tersebut untuk pergi membuang diri dan jangan pernah kembali lagi ke rumah tetangga kemudian mengambil hati binatang untuk dibawa anak laki-laki tersebut terus berjalan hingga melewati tujuh bukit dan tujuh gunung. Tak berselang lama, mereka menemukan sebuah rumah tua."Kita singgah di sini dik, kita minta nasi," ujar si sulung pada mendapati rumah tersebut ternyata tidak berpintu. Maka mereka pun langsung masuk. Di dalam rumah itu terlihat tulang belulang berserakan di lantai dan di begitu lapar, mereka mencari sang empunya rumah. Namun tak seorang pun ke dapur mereka melihat berbagai makanan tersimpan di sana. Karena rasa lapar yang begitu mendera, mereka memberanikan diri mengambil makanan dan menyantapnya dengan malam, tiba-tiba terdengarlah suara seperti guntur. Keduanya kaget dan ketakutan."Hmmm... ada yang berbau manusia!," bunyi suara itu saat itu, barulah mereka sadar bahwa itu adalah rumah Nenek Pakande. Sosok makhluk perempuan tua pemakan naik ke rumah, berkatalah Nenek Pakande "Siapakah engkau cucu-cucu?"."Kamilah anak yang tidak beribu. Bapak kami sudah beristri lagi, dan ibu tiri tidak menyukai kami. Terpaksa kami membuang diri. Dan sampailah kami di rumah ini," kata anak-anak itu."Baiklah! Tinggallah kalian di sini cucu-cucu. Kalian jaga rumah ini, sebab saya selalu bepergian," bujuk si Nenek."Sudahkah kalian makan?" lanjutnya."Sudah nek!" jawab anak-anak itu."Makanlah yang banyak supaya cepat besar!" kata si anak itu pelan-pelan mulai tenang. Mereka pun percaya dengan ajakan si Nenek Pakande."Bagaimana ukuran hatimu cucu?" si nenek bertanya lagi."Baru sebesar biji beras, nek," jawab anak-anak itu."Makanlah, makanlah supaya engkau lekas besar!" kata Nenek Pakande dialog yang terjadi setiap hari. Kedua anak itu tinggal di rumah tersebut bersama dengan Nenek selengkapnya di halaman berikut...
cerita rakyat sulawesi selatan nenek pakande